Kurikulum Deeplearning: Solusi atau Cuma Ilusi?

Kurikulum Deeplearning: Solusi atau Cuma Ilusi?

Halo, Brey&Sees! Ada kabar panas dari dunia pendidikan kita nih: Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Pak Abdul Mu’ti, baru saja mencetuskan ide “Kurikulum Deeplearning.” Yup, kalian nggak salah baca. Kurikulum baru yang namanya terdengar sekeren teknologi AI ini katanya bakal menggantikan Kurikulum Merdeka yang baru seumur jagung. Apa sih, yang sebenarnya bikin Kurikulum Deeplearning ini istimewa? Dan yang lebih penting, apakah ini bakal benar-benar membantu atau cuma satu lagi jargon pendidikan yang akan kita lupakan dalam beberapa tahun ke depan? Yuk, kita kulik!

Kurikulum Merdeka: Ide Bagus, Tapi…

Nah, sebelum kita bahas tentang Kurikulum Deeplearning ini, kita harus paham dulu kenapa Kurikulum Merdeka harus diganti. Sejak diluncurkan pada tahun 2020, Kurikulum Merdeka sebenarnya cukup revolusioner. Bayangin aja, Brey&Sees, siswa diberi kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang mereka suka, bahkan mereka punya kesempatan untuk mengasah keterampilan abad ke-21 kayak kerja tim, berpikir kritis, dan kreativitas. Kayaknya keren banget, kan? Nah, tapi ternyata kebebasan ini ada sisi gelapnya juga.

Kebebasan yang diberikan Kurikulum Merdeka sering kali bikin siswa lebih fokus sama proyek dan keterampilan umum ketimbang menguasai konsep dasar yang mendalam. Jadi, boro-boro paham teori dasar, yang penting proyek selesai dulu! Akhirnya, banyak yang merasa kalau pendidikan kita jadi dangkal. Ibaratnya, Kurikulum Merdeka ini kayak ngasih kita sup yang terlalu encer – ada bahan bagus, tapi rasanya kurang nendang. Mungkin ini yang bikin Pak Menteri tergelitik buat cari alternatif lain.

Baca Juga:  Cara Buat Kopi Sachet Enak, Dari Ampas Jadi Berkelas

Tiga Pilar Ajaib: Mindfull Learning, Meaningfull Learning, Joyfull Learning

Nah, di sinilah Kurikulum Deeplearning hadir dengan janji manisnya. Konon katanya, kurikulum ini dibangun di atas tiga pilar keren: Mindfull Learning, Meaningfull Learning, dan Joyfull Learning. Wah, kayaknya ini terdengar serius banget, ya? Tapi tunggu dulu, mari kita lihat satu per satu.

  1. Mindfull Learning: Intinya sih, ini tentang keterlibatan aktif siswa. Jadi, siswa nggak cuma jadi penonton pas belajar, tapi juga ikut diskusi, eksperimen, dan eksplorasi. Harapannya, siswa bisa paham materi lebih mendalam. Terdengar bagus, kan? Tapi ada satu pertanyaan besar: apa semua guru di Indonesia siap dengan metode ini? Mindfull Learning ini butuh energi dan waktu ekstra. Dan ngomong-ngomong, kapan terakhir kali kalian liat guru yang punya banyak waktu luang?
  2. Meaningfull Learning: Kalau ini, katanya sih bakal bikin pelajaran jadi relevan sama kehidupan nyata. Jadi, siswa bakal lebih ngerti kenapa mereka belajar suatu materi, bukan sekadar buat ujian aja. Contoh simpelnya, belajar matematika nggak cuma buat hitung-hitungan, tapi buat ngerti cara ngatur uang di kehidupan nyata. Mungkin di satu sisi ini bener, tapi di sisi lain, nggak semua materi pelajaran bisa nyambung ke kehidupan sehari-hari, kan? Coba deh, siapa yang pernah ngerasa kalau trigonometri itu penting buat beli tahu di warung?
  3. Joyfull Learning: Nah, pilar ketiga ini yang paling kontroversial. Joyfull Learning artinya belajar itu harus menyenangkan dan bermakna. Ehm, pertanyaannya, apakah menyenangkan itu selalu bermakna? Kadang-kadang, belajar ya memang membosankan, dan kita cuma harus terima. Belajar integral atau rumus kimia, contohnya, mungkin bukan hal yang menyenangkan buat banyak siswa. Tapi ya, apa kita bisa bilang kalau itu nggak penting?
Baca Juga:  Apakah Generasi Tua Lebih Cuek Soal Perubahan Iklim?

Tantangan di Lapangan: Ide yang Bagus, Tapi Realistis?

Kalau kita mau jujur, Brey&Sees, setiap perubahan kurikulum pasti menghadapi tantangan besar. Bayangin aja, kalau Kurikulum Deeplearning mau diterapkan, guru-guru di seluruh Indonesia harus siap dengan metode pengajaran yang baru. Dan, kita tahu kan, nggak semua guru punya akses ke pelatihan yang memadai? Belum lagi soal infrastruktur sekolah yang, jujur aja, masih jauh dari kata sempurna.

Jangan lupa, ada budaya belajar yang udah tertanam di siswa juga. Mindfull Learning, Meaningfull Learning, dan Joyfull Learning kedengarannya keren di atas kertas, tapi gimana dengan implementasinya? Nggak semua siswa siap untuk belajar dengan cara yang lebih mendalam dan reflektif, apalagi kalau selama ini mereka terbiasa dengan gaya belajar hafalan. Transformasi kayak gini butuh waktu lama, dan hasilnya nggak akan langsung terlihat dalam satu atau dua tahun.

Masa Depan Pendidikan Kita: Revolusi atau Evolusi?

Tapi, tunggu dulu! Walaupun kita udah kritik sana-sini, bukan berarti Kurikulum Deeplearning ini nggak ada potensi, ya. Kalau diterapkan dengan benar (dan itu kalau besar banget), kurikulum ini bisa jadi langkah maju buat pendidikan kita. Bayangin, siswa yang nggak cuma paham materi tapi juga ngerti aplikasinya di dunia nyata. Siswa yang nggak cuma hafal, tapi juga ngerti esensi dari yang mereka pelajari. Kedengarannya indah banget, kan? Seperti membayangkan jalan-jalan ke Bali tanpa macet.

Namun, apakah kita siap untuk revolusi besar-besaran atau lebih baik melakukan evolusi bertahap? Kurikulum Merdeka mungkin belum sempurna, tapi membuangnya begitu saja bisa menimbulkan kebingungan. Mungkin solusi terbaik adalah mengombinasikan fleksibilitas Kurikulum Merdeka dengan pendekatan mendalam Kurikulum Deeplearning. Dengan kata lain, kita bisa ambil yang terbaik dari kedua kurikulum ini tanpa harus terus-menerus mengubah sistem pendidikan kita setiap beberapa tahun.

Baca Juga:  Kenapa Kurikulum Selalu Berubah? Cek Disini Alasannya

Akankah Ini Jadi Kenyataan atau Hanya Mimpi Belaka?

Nah, Brey&Sees, pada akhirnya, kurikulum pendidikan bukanlah soal nama keren atau istilah yang trendi. Inti dari kurikulum itu adalah cara kita menyiapkan generasi masa depan dengan pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan. Kalau Kurikulum Deeplearning bisa mencapai ini, maka kita harus dukung sepenuhnya. Tapi, kalau ini hanya menjadi “label baru” tanpa perubahan nyata, mungkin kita hanya menunggu waktu sampai kurikulum berikutnya diumumkan.

Bagaimana menurut kalian? Apakah Kurikulum Deeplearning ini benar-benar solusi jitu atau cuma tren sesaat? Mari kita buktikan bersama-sama, Brey&Sees! Jangan lupa untuk bagikan artikel ini ke teman-teman kalian, siapa tahu kita bisa menggerakkan diskusi publik yang lebih luas soal pendidikan.

Author

Fikiran adalah benih, tulisan adalah bunga yang mekar darinya. Melalui tulisan, kita menenun gagasan menjadi karya yang abadi

Artikel Terkait